Futuristik

January 29, 2009

Kemarin sore pas jam pelajaran terakhir, pelajaran yang sumpah-butuh-kafein-untuk-bertahan, BK, ada kakak-kakak mahasiswa  dari dua universitas, satu dari FK Universitas Diponegoro, satu lagi dari Institut Teknlogi 10 November. Mereka dateng buat promosiin universitas masing-masing, khususnya fakultas tempat mereka ngelmu.

Oh iya, alasan mereka dateng juga terkait dengan salah satu (masa sadong satu) event yang bakal diadakan di SMAN 81, yaitu ZONA KAMPUS 2009, dengan tagline “find your way and make it real”. Hajatannya tanggal 30 Januari 2009, hari jum’at. Jadi alumni-alumni pada sibuk bolak-balik ke sekolah pake jaket almamater masing-masing. Selain promosi, ya juga sekalian nampang (bukan yang buat bawa minuman).

Ngeliat kakak-kakak itu, gw jadi berpikir kembali dan meninjau ulang hidup gw. Ya, gw adalah seorang perenung. Tapi bukan atlet perenung seperti Michael Phelps atau Ian Thorpe.

Apa yang direnungkan?

Masa depan.

Biar keliatan.

Selama ini, gw ga pernah punya cita-cita yang tetap. Kalau dibikin list, inilah dia:

5 th – Astronot (tidak astro)

8 th – Guru SD (enak bisa marahin murid)

12 th – Profesor, Scientist, Ilmuwan, pokoknya berkaitan ama itu

14 th – Anak band (gara-gara nonton Realita, Cinta & Rock ‘n Roll)

15 th – Dokter

16 th – Politikus, Filsafat, atau Jaksa

Plin-plan memang, silakan dicerca. Gw orangnya bosenan, sangat bosenan. Padahal gw belum ngejalanin, cuma ngebayangin doang, tapi cepet bosen. Ah gw sering kesel sendiri ama sifat gw yang ini.

Gw pengen bisa konsisten sama tujuan gw, dari awal sampai akhir, tapi sekarang?? Tujuan aja ga jelas. Mumpung gw lagi semangat-semangatnya untuk memperbaiki diri, maka ga ada salahnya buat nentuin juga apa sebenarnya cita-cita gw.

Ada sebuah percakapan yang gw inget waktu kelas 3 SMP, antara gw (AK) dan selembar tukang ojek (TO). Kok selembar? Abisnya kurus banget kayak bambu. Untung dia ga ketemu Doraemon, bisa dijadiin baling-baling nanti.

TO : Mo jadi dokter, yak tong?

AK : (jawaban asal) Tau bang, insinyur kayaknya.

TO : Tukang sayur? Wah langka yak.

AK :  INSINYUR, BANG.

TO : Oh, maap tong, maklum jalanan berisik

AK : Jalanan gak mungkin berisik bang, mobilnya yang berisik.

TO : Oh iya yak, hahaha kalah dah abang mah ama anak gedongan.

(2 menit datar tanpa percakapan, dan gw masih kesel dipanggil ‘tong ‘)

TO : Abang nih yak, dulu cita-citanya ga kepengen jadi tukang ojek.

AK : (saya juga tau kok bang)

TO : Abang dulu kepengennya mah yak, jadi diplomat. Tapi pan kagak mungkin kesampean yak. Miskin gini.

AK : ….

TO : Makanya neh tong yak, jangan ampe dah disia-siain tuh sekolah tinggi-tinggi.

AK : (pengen jawab, “saya fobia ketinggian bang”, tapi ga enak, masih serius)

TO : Jangan sampe kayak abang gini, bisanya dapet duit buat makan doang tiap hari, jarang ada lebihan. Buat nyekolahin anak udah megap-megap.

AK : Kiri, bang.

Gw turun, padahal masih 100 meter lagi. Dan gw ngasih sepuluh ribu. Sepuluh ribu untuk sebuah pelajaran hidup yang amat berharga.

Jadi, gw minta tolong buat para pembaca untuk menjawab pertanyaan ini:

Kira-kira pekerjaan apa yang cocok untuk gw di masa depan nanti?

The Man

January 26, 2009

(Gw yakin pasti pada nungguin postingan TO dari gw, hahaha. Maaf kalau ga sesuai harapan)

I’m holding on an important role. It’s pretty much that I’m responsible for almost everything corelated to Solaris.

I’m the one who would gather them all in one spot.

I’m the one who’s planning the show.

I’m the one who become ‘the leader’ in the field.

I’m the one who had to get up earlier than everyone else to prepare everything.

I’m the one who had to set up the route and make sure everyhing stays fine and everyone is at where they should be.

I’m the one who had to go through the rain in the dark, back and forth, to make sure everyone get what they wanted.

I’m the one who’s holding the light, with other men, go to each house to have a ‘war for the dignity’.

I’m the one who took the loser’s dignity.

I’m the one who argued with the best group, and I congrats the group.

I’m the one who should’ve thanked them, but I didn’t, thanks to ‘cloudy skies’.

I’m the one who would always stand until the end.

I’m the one who had to wear the same mask everytime.

I’m the one who would always be hated for my job.

I’m the one who’s holding the responsible for what they would become in future.

I’m the one.

I’m the man.

I’m Adi Kadarisman.

Luntur

January 20, 2009

ingin teriak,

saya masih di gurun.

ingin nangis,

saya masih laki-laki

ingin dibakar,

saya masih di kutub.

ingin tenggelam,

saya masih di gunung.

ingin pingsan,

saya masih di barisan.

ingin baik,

saya masih narapidana.

ingin menulis,

saya masih di jaman batu.

ingin sholat,

saya masih di mall.

ingin sukses,

saya masih di kampung.

ingin dikenal,

saya masih miskin.

ingin korupsi,

saya masih di KPK.

ingin mati,

saya masih ngutang.

ingin digantikan,

tugas saya belum selesai.

dan tak akan selesai, kecuali waktu menyelesaikan saya.

Leg Is Lative

January 18, 2009

(Dibuat setelah pulang survey tempat TO di Desa Dayeuh Kolot)

Gw ga akan melayani pertanyaan apapun soal tempat TO, tanyakan saja pada Tantowi Yahya.

Sepanjang perjalanan, ada satu hal yang kayaknya menjadi semacam ‘momok’ buat gw.

Foto Caleg.

Bertebaran dimana-mana, tanpa mempedulikan estetika. Setiap 10 meter, selalu ada foto caleg atau atribut partai. Bendera, umbul-umbul, spanduk, macam-macam lah, dan yang pasti tidak sedap dipandang mata.

Gw membayangkan, betapa tebal mukanya mereka. Fotonya dipajang di sepanjang jalan, lebih banyak dari foto artis, bahkan foto Presiden kita. Terus terang, butuh banyak keberanian dan uang untuk bisa kayak gitu. Dua hal yang gw belum punya.

Pemilu tinggal menghitung bulan. Jadi sebentar lagi pemilu datang bulan.

Apakah gw akan menggunakan hak suara gw? Kayaknya udah deh dari lahir. Tidak, gw belum akan memilih untuk periode ini.

Bukannya gw anarkis yang benci politik, tapi terkadang para petinggi-petinggi itu memang sampah. Tancapan kuku rezim orde baru masih sangat kental. Yang diposisi penting ya orang yang itu-itu saja. Politik Indonesia membutuhkan wajah-wajah baru yang muda dan segar. Amerika sudah memulai dengan Obama. Kapan kita? Negara ini sudah terlalu bobrok dipermainkan orang-orang keriput berdasi.

Dan foto-foto itupun kembali diam. Menjilat sendiri ludah yang dibuangnya, memakan sendiri bualan-bualan gombal kampanyenya.

Apakah nanti kerja mereka bakal sebanding sama promosinya?

Lagi-lagi gw skeptis.

Bride

January 14, 2009

Pacar lo sekarang siapa, di?

Ga ada men, single all the way.

Kenapa? Baru nyadar kalo gay?

Bukan, gw lesbi. Sialan lo.

Lah terus?

Gw ga mau cari pacar, gw mau cari calon istri

(Adi sign off and left the useless conversation because his friend was laughing at him)

Apa gw terlalu sok dewasa dengan jawaban kayak gitu?

Kalau ya, silakan tinggalkan komen. Kalau tidak, tinggalkan komen juga. Jadi intinya tinggalkanlah komentar anda, lalu belilah komentar yang lain supaya bisa ditinggalkan lagi disini lain waktu.

Kembali ke desktop.

Susah buat gw bahkan untuk cuma sekedar ‘naksir’ sama lawan jenis (dalam konteks ini perempuan, bukan binatang). Entah karena gw terlalu perfeksionis, pemilih, atau malah keduanya.

Kata teman seduabangku gw, Latifah Dinar, kalo hujan itu paling enak pacaran. Hah, tapi karena gw ga punya pacar, jadi gw melakukan hal terenak kedua yang bisa dilakukan pas hujan, berimajinasi pacaran.

Teringat gw akan kata-kata seseorang…

‘Ah, nyantai aja kali, pacaran tuh gausah dianggap terlalu serius, malah stres sendiri nanti. Kalo putus tinggal cari yang baru, gampang kan? Lagian kita masih muda, cintanya tuh cinta monyet. Udahlah, cepetan cari pacar, gengsi jaman skarang ga punya, hehe.’

Paragraf tersampah yang pernah gw denger dalam 16 tahun hidup ini.

Buat gw, ga ada yang namanya cinta monyet. Cinta ya cinta, mau itu asalnya dari monyet ataupun anoa.

Gw ga akan pernah bisa berpikir kayak gitu. Pacar cuma dijadikan aksesoris yang dengan bangga bisa kita pamerkan ke teman-teman kita. Pacar digunakan untuk menaikkan strata sosial di mata orang lain.

Moral bangsa timur memang udah makin tergerus.

Gw sendiri ngerasa ga perlu terburu-buru buat nyari pacar. Kayak yang udah gw bilang, Gw cari calon istri. Gw cari seorang wanita, bukan gadis. Wanita yang memang memenuhi seabrek kriteria gw akan ‘calon istri idaman’. Ya, idaman, bukan mainan yang bisa melontarkan kelereng dari perut itu.

Ah, kayaknya juga gw ga akan nyari. Cinta itu tumbuh, bukan dicari. Cinta timbul setelah berbagai proses. Cinta datang pada pandangan keseribu, atau kesejuta. Ga akan datang tiba-tiba tanpa ketok pintu dan ucap salam terlebih dulu. Cinta yang datangnya lama, akan bertahan lama pula.

Maybe I’m in love, maybe not, but one thing for sure, love inspire me.

You were behind the walls

so invincible like no one

woke me up from my fantasy

slap me and showed me reality

Oh, such a cruel me

to ever wasted lord’s best gift

oh, such a stupid me

to never saw you who is right in my face

apologies and sorries won’t change anything

but I know it’s no late

to tell you a thing

Please don’t show me that tears

please don’t show that gloomy face of yours

cause it’s just killing me inside out.

She : inspiration, adorable & memorable, redefine beauty, to admire to, addiction, unstoppable echoes in head, crazed me, a goddess, oddity feelings, whole life.

She?

that’s the riddle.

Not a crossword puzzle, not a jigsaw, not a sudoku.

Just a riddle, that sometimes you’ll never know the answer.

ADIos!

Aklamasi

January 11, 2009

Memang sangat susah menjadi netral.

Apalagi jadi drummernya.

Bukan, maksudnya adalah menjadi orang yang tidak memihak. Jadi orang yang mau memperjuangkan yang terbaik buat pihak manapun tanpa harus berasa seperti ‘hape ketinggalan di rumah’.

Tapi gw belajar banyak hari ini. Belajar dari sekumpulan orang yang harusnya gw ajar. Ilmu memang bisa datang dari siapapun, termasuk dari seorang Ahmad Kartono.

Sahut-sahutan kalimat mereka berhasil menggerakkan dan menegakkan prinsip ini yang sudah lama jatuh ke bawah. Ya pastilah jatuh ke bawah. Hampir menangis, tapi hati dengan cepat mampu mengonversikan rasa haru menjadi bangga.

Bangga akan mereka, yang telah berhasil membuat mulut ini menelan ludah sendiri.

Bangga akan mereka, orang-orang yang begitu bangga akan komunitasnya.

Bangga akan diri, yang telah menuju ke arah target, meski dipandang lain dan harus menelan beberapa pil pahit sebelum akhirnya meminum manisnya sukses.

Oh, ini masih jauh dari ending, meski sudah jauh juga dari prolog.

Tapi kita semua pasti setuju, this is a sweet beginning of something.

Sebuah aklamasi.

ADIos!

Pahlawan

January 10, 2009

Yazeed panik, dimandikan keringat dingin. Fatimah menangis meraung-meraung kesakitan, teriak-teriak minta dibebaskan dari kesakitan luar biasa. Tentu saja, siapa yang tidak seperti itu jika kakinya hilang sebelah?

Dibongkarnya semua lemari, mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk menyelamatkan janda tua yang telah mengurusnya dari orok itu. Yang ditemukannya cuma handuk, kain perca, dan sedikit plester sisa. Meski ia tau alat-alat itu tak bisa sambung kaki, ia bawa semua ke ranjang Fatimah.

Tak tahu apa yang harus dilakukan, Yazeed hanya bisa menangis. Semua barang yang ia bawa, cuma ia sesakkan di kaki Fatimah, berharap darah akan berhenti mengalir. Harapan tinggal harapan.

Lapak hampir rubuh digemuruhi isak tangis keduanya. Erangan-erangan Fatimah makin menyiksa bocah itu. Ia terjepit dalam mimpi buruk, ingin bangun tapi tak bisa. Wanita itu sudah mengurusnya dari ketika ia belum bisa mengucap ‘terima kasih’. Wanita itu berkali-kali menyelamatkannya dari kematian. Yazeed yang lemah dan sakit-sakitan dirawatnya penuh sabar.

Tapi sekarang, ketika ia diambang hidup mati, membutuhkan Yazeed lebih dari apapun, bisa apa dia? Air matanya bukan air surga.

Ia pun coba cari bantuan di kota, yang jaraknya sekitar 500.000 cm dari situ. Janjinya pada Fatimah, dia kembali membawa bantuan. Fatimah akan tetap hidup.

Berjam-jam ditunggunya anak itu, namun ia tak kunjung kembali. Ia sangat kehausan, butuh air. Air dingin. Apa daya, ia cuma bisa terdiam di ranjang, ditemani rasa sakit, didongengkan oleh lapar dan haus.

Berjam-jam tetap ditunggunya. Hari sudah kunjung larut, tak kembali juga anak itu. Kemana ia sebenarnya? Fatimah semakin lapar, perut memanggilnya. Ia sepertinya sudah mulai terbiasa dengan rasa sakit, namun tidak akrab dengan kelaparan ekstrem seperti ini.

Seekor kecoa melintas di depannya. Naluri kebinatangan Fatimah merangsek ke permukaan. Dipukulnya kecoa itu sampai mati, badannya gepeng. Cairan tubuhnya bergelinang di lantai abu itu. Diambilnya bangkai itu, diletakkannya di meja. Ia ingin sekali memakannya, rasa lapar membuatnya gila.

Tapi ia ingat, Yazeed belum pulang, dan mungkin belum makan. Ditunggu Yazeed sampai ia pulang, nanti kecoa itu untuknya dulu jika ia lapar.

Namun Fatimah tak tahu akan satu hal, Yazeed tak akan pernah kembali.

Ia menjadi salah satu dari 100 anak yang meninggal di Gaza semenjak hari ketujuh. Dibombardir oleh sekumpulan manusia Zionis tak berhati. Mayatnya langsung dibawa ke rumah sakit, tanpa mengetahui siapa sebenarnya anak ini.

Mayat Fatimah pun membusuk di lapak itu. Ia menjadi korban ke 422 yang meninggal akibat serangan di Gaza.

Maka pahlawan umat manusia saat ini adalah laut.